ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN HUBUNGAN SOSIAL

GANGGUAN HUBUNGAN SOSIAL

Manusia adalah mahkluk, untuk mencapai kepuasan dalam kehidupan , bina hubungan interpersonal yang positif.

I. Pengertian
Dibawah ini ada beberapa pengertian menurut tokoh tokoh antara lain ;
Stuart and Sudden (1998)
Hubungan interpersonal yang sehat terjadi jika individu yang terlibat saling merasakan kedekatan, sementara identitas pribadi masih tetap dipertahankan.

Rogers
Karakteristik hubungan yang sehat : terbuka, menerima orang lain sebagaisebagai orang yang mempunyai nilai sendiridan adanya rasa empati.

Gangguan hubungan social
Pengertian:
Keadaan dimana seorang individu berpartisipasi dalam kuantitas yang berlebihan atau tidak cukup atau ketidakefektifan kualitas pertukaran sosial (Townsend,1998)

II. RENTANGAN RESPONDEN SOSIAL

R. Adapati R. Maladapatif

Sosial Kesepian Manipulasi
Otonomi Menarik diri Impulsif
Kebersamaan Ketergantungan Narkisisme
Saling ketergantungan

(Stuart and Sundeen,hal 441)

PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN RESPONDEN SOSIAL MALADAPTIF

Perilaku Karakteristik
Manipulasi Orang lain diperlakukan seperti obyek hubungan terpusat pada masalah pengendalian individu, berorientasi pada diri sediri atau pada tujuan, bukan berorintasi pada orang lain.
Narkisisme Harga diri yang rapuh, secara terus menerus berusaha
Inplusif Mendapatkan penghargaan, pujian, sikap egosentris, pencemburu, marah jika orang lain tidak mendukung. Tak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari pengalaman , penilaian yang buruk tidak dapat diandalkan

Perilaku menarik diri :
Adalah usaha menghidari interaksi dengan orang lain dimana individu merasa bahwa kehilangan hubungan akrab, tidak mempunyai kesempatan membagi rasa, fikiran, prestasi / kegagalan, ia mempunai kesulitan berhubungan secara spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian dan tak sanggup membagi pengalaman dengan orang lain.

III. KARAKTERISTIK PERILAKU MENARIK DIRI
. Gangguan pola makan : tidak ada nafsu makan / minum berlebihan
. Berat badan menurun /meningkat dratis
. Kemunduran kesehatan fisik
. Tidur berlebihan
. Tingal ditempat tidur dalam waktu yang lama
. Banyak tidur siang
. Kurang bergairah
. Tak mempedulikan lingkungan
. Aktivitas menurun
. Mondar – mandir / sikap mematung, melakukan gerakan secra berulang (jalan mondar mandir)
. Menurunnya kegiatan seksual

TUGAS PERKEMBANGAN BRHUBUNGAN DENGAN
PERTUMBUHAN INTERPERSONAL

Tahap perkembangan Tugas
Masa bayi Menetapkan landasan percaya
Masa bermain Mengembangkan otonomi dan awal perilaku mandiri
Masa pra sekolah Belajar menunjukkan inisiatif dan rasa tanggung jawab dan hati nurani
Masa sekolah Belajar berkompetisi, bekerja sama dan berkompromi
Masa pra remaja Menjadi intim dengan teman sejenis kelamin
Masa remaja Menjadi intim dengan lawan jenis kelamin dan tidak tergantung pada orsng tua
Masa dewasa muda Menjadi saling tergantung dengan orang tua, teman, menikah dan mempunyai anak
Masa tengah baya Belajar menerima
Masa dewasa Berduka karena kehilangan dan mengembangkan perasaan keterikatan dengan budaya.

IV. FAKTOR – FAKTOR PENCETUS GANGGUAN HUBUNGAN SOSIAL.
1. Faktor perkembangan
. Gangguan dalam pencapaian tingkat perkembangan
. Sistem kelarga yang terganggu
. Norma keluarga kurang mendukung hubungan keluarga dengan pihak lain diluar keluarga.
2. Faktor biologik
. Genetik, neurotransmiter masih perlu penelitian lebih lanjut.
3. Faktor sosio cultural
. Isolasi akibat dari norma yang tidak mendukng
. Harapan yang tidak realistic terhadap hubungan

V. STRESSOR PENCETUS
1. Stressor sosio cultural
. Menurunya satabilitas unit keluarga
. Berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya
2. Stresor psikologik
• Ansietas berat yang berkepenjangan dengan keterbatasan untuk mengatasi.

VI. SUMBER KOPING
• Keterlibatan dalam hubungan yang luas dalam keluarga dan teman.
• Hubungan dengan hewan peliharaan
• Gunakan kreatifitas utuk mengekspresikan stress interpersonalseerti kesenian,musik,tulisan.

VII. MEKANISME KOPING
1. Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian anti social
. Poyeksi
. Pemisahan
. Merendahkan orang lain
2. Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian “border line”
. Pemisahan
. Reaksi formasi
. Proyeksi
. Isolasi
. Idealisasi orang lain
. Merendahkan orang lain

LANGKAH-LANGKAH PROSES KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Fraktor predisposisi
a. Faktor tumbuh kembang
Pada masa tumbuh kembang individu mempunyai tugas perkembsangan yang
harus dipenuhi, setiap tahap perkembangan mempunyai spesifikasi tersendiri
Bila tugas dalam perkembangan tidak terpenuyhi akan menghambat tahap
Perkembangan selanjutnya dan dapat terjadi gangguan hubungan social.
b. Faktor komunikasi dalam keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung terjadi
nya gangguan hubungan sosial, termasuk komunikasi yang tidak jelas (
double blind komunikation), ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga dan
pola asuh keluarga yang tidak menganjurkan anggota keluarga untuk
berhubungan di luar lingkungan keluarga.
c. Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan factor
pendukung untuk terjadinaya ada gangguan hubungan sosial. Hal ini
disebabkan oleh noma-norma yang dianut keluarga yang salah, dimana tiap
anggota keluarga yang tidak produktif diasingkan dari hubungan sosialnya
misalnya : usia lanjut, penyakit kronis, penyandang cacat dan lain-lain.

2. Faktor predisposisi
a. Struktur sosial budaya
Stres yang ditimbulkan oleh factor sosial budaya antara lain keluarga yang
labil, berpisah dengan orang yang terdekat/berarti, perceraian dan lain-lain.
b. Faktor hormonal
Gangguan dari fungsi kelenjar bawah otak (gland pituitary ) menyebabkan
turunya hormon FSH dan LH. Kondisi ini terdapat pada pasien skizofrenia.
c. Hipotesa virus
Virus HIV dapat menyebabkan prilaku spikotik.
d. Model biological lingkungan sosisal
Tubuh akan menggambarkan ambang toleransi seseorang terhadap stress pada
saat terjadinya interaksi dengan interaksi sosial.
e. Stressor psikologik
Adanya kecemasan berat dengan terbatasnya kemampuan menyelasaikan
kecemasan tersebut.

3. Prilaku
a. Tingkah laku yang berhubungan dengan curiga
1. Tidak mampu mempercayai orang lain.
2. Bermusuhan.
3. Mengisolasi diri dalam hubungan sosial
4. Paranoia
b. Tingkah laku yang berhubungan dengan dependen
1. Ekpresi perasaan tidak langsung dengan tujuan.
2. Kurang asertif
3. mengisolasi diri dalam hubungan sosial
4. Harga diri rendah
5. Sangat tergantung dengan orang lain.
c. Tingkah laku yang berhubungan dengan kepribadian anti sosial.
1. Hubungan interpersonal yang dangkal
2. Rendahnya motifasi untuk berubah
3. Berusaha untuk tampil menarik.
d. Tingkah laku yang berhubungan dengan borderline.
1. Hubungan dengan orang lain sangat stabil
2. Percobaan bunuhdiri yang manipulatif
3. Susunan hati yang negatif (depresif)
4. Prestasi yang rendah
5. Abivalensi dalam hubungan dengan orang lain
6. Tidak tahan dengan sendirian
e. Tingkah laku yang berhubungan dengan menarik diri
1. Kurang spontan
2. Apatis, ekpresi wajah kurang berseri
3. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan dirinya
4. Tidak mau komonikasi verbal
5. Mengisolasi diri
6. Kurang sadar dengan lingkungan sekitar
7. Kebutuhan fisiologis terganggu
8. Aktivitas menurun
9. Kurang energi, harga diri rendah, postur tubuh berubah.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Masalah keperawatan yang berubungan dengan hubungan sosial. Diagnosa menurut NANDA :
1. Resiko terjadi perubahan persepsi sensori berhubungan dengan menarik diri
2. Koping keluarga inefektif
3. Koping indifidu inefektif
4. Kesepian berhubungan dengan menarik diri
5. Perubahan proses berfikir
6. Isolasi sosial berhubungan dengan kemampuan hubungan sosial inadekuat
7. Ganggiuan persepsi (harga diri rendah) berhubungan dengan persepsi keluarga nonrealistik dalam berhubungan.
8. Menarik diri berhubungan dengan waham curiga.
9. Kebersihan diri kurang berhubungan dengan kurang energi
10. Gangguan hubungan sosial berhubungan dengan kurangnya perhatian terhadap lingkungan.
11. Menurunya aktivitas motorik berhubungan kurangnya perhatian terhadap lingkungan.
12. Potensial defisit cairan berhubungan dengan tidak mau merawat diri.
13. Gangguan komonikasi verbal
14. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan menarik diri

C. PERENCANAAN
Ada beberapa prinsip rencana asuhan keperawatan dengan klien gangguan hubungan sosial, antara lain :
1. Bina hubungan saling percaya
2. Bantu klien menguraikan kelebihan dan kekurangan interpersonal.
3. Bantu klien membina kembali hubungan interpersonal yang positf / adaptif dan memberikan kepuasan timbal balik :
• Beri penguatan dan kritikan yang positif
• Jangan perhatikan klien saat manipulatif/ekploratif,konfrontasi
• Bertindak sebagai model peran, latih prilaku
• Dengarkan semua kata-kata klien dan jangan menyela saat klien bertanya.
• Berikan penghargaan saat klien dapat berprilaku yang positif
• Hindari ketergantungan klien
• Kembangkan hubungan terapeutik dengan klien “bukan anda”, tetapi perilaku anda yang tidak dapat diterima.
4. Perhatikan kebutuhan ADL klien
5. Libatkan dalam kegiatan ruangan.
6. Ciptakan lingkungan terapeutik
7. Terapi somatic
8. Libatkan keluarga/system pendukung untuk membantu mengatasi masalah klien.

D. PELAKSANAAN
Pelaksanaan sesuai dengan rencana keperawatan yang ada dan dilakukan di lapangan

E. EVALUASI
Klien mengadakan hubungan interpersonal yang efektif, dapat bekerjasama dengan perawat dan keluarga, klien dapat menggunakan sumber koping yang adekuat.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HARGA DELIREUM

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN DELIRIUM

I. KONSEP DASAR

A. Pendahuluan
Psikosa secara sederhana dapat didefinisikan sebai suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense of reality). Keadaa ini dapat digambarkan bahwa psikosa ialah gangguan jiwa yang serius, yang timbuk karena penyebab organik ataupun emosional (fungsional) dan yang menunjukkan ganggua kemampuan berpikir, bereakasi secara emosional, mengingat, berkomunikasi, menafsirkan kenyataan dan bertindak sesuai dengan kenyataan itu, sedemikian rupa sehingga kemampuan untuk memenuhi tuntutan hidup sehari-hari sangat terganggu. Psikosa ditandai oleh perilaku yang regresif, hiudp perasaan tidak sesuai , berkurangnya pengawasan terhadap impuls-impuls serta waham dan halusinasi.

Menninger telah menyebutkan lima sindroma klasik yang menyertai sebagian besar pola psikotik :
1. Perasan sedik, bersalah dan tidak mampu yang mendalam
2. keadaan terangsang yang tidak menentu dan tidak terorganisasi, disertai pembicaraan dan motorilk yang berlebihan
3. regresi ke otisme manerisme pembicaran dan perilaku, isi pikiran yanng berlawanan, acuh tak acuh terhadap harapan sosial.
4. preokupasi yang berwaham, disertai kecurigaan, kecendrungan membela diri atau rasa kebesaran
5. keadaan bingung dan delirium dengan disorientasi dan halusinasi.

B. Pengertian
Delirium adalah sindroma otak organik karena fungsi atau metabolisme otak secara umum atau karena keracunan yan menghambat mnetabolisme otak.

C. Gejala
Gejala utama ialah kesadaran menurun. Kesadaran yang menurun ialah suatu keadaan dengan kemampuan persepsi perhatian dan pemikiran yan berkurang secara keseluruhan (secara kuantitatif).

Gejala-gejala lainnya penderita tidak mampu mengenal orang dan berkomunikasi dengan baik, ada yang bingung atau cemas, gelisah dan panik, adanya klien yan terutama halusinasi dan ada yang hanya berbicara komat-kamit dan inkohern.

Dari gejala-gejala psikiatrik tidak dapat diketahui etiologi penyakit badaniah itu, tetapi perlu dilakukan pemeriksaan intern dan nerologik yang teliti. Gejala tersebut lebih ditentukan oleh keadaan jiwa premorbidnya, mekanisme pembelaaan psikologiknya, keadaan psikososial, sifat bantuan dari keluarga, teman dan petugas kesehatan, struktur sosial serta ciri-ciri kebudayaan sekelilingnya.

D. Psikopatologi
Delirium biasanya hilang bila penyakit badaniah yang menyebabkan sudah sembuh, mungkin sampai kira-kira 1 bulan sesudahnya. Gangguan jiwa yang psikotik atau nonpsikotik yang disebabkan oleh gangguan jaringan fungsi otak. Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak (meningoensephalitis, gangguan pembuluh darah ootak, tumur otak dan sebagainya) atau yang terutama di luar otak atau tengkorak (tifus, endometriasis, payah jantung, toxemia kehamilan, intoksikasi dan sebagainya). Bila bagian otak yang terganggu itu luas, maka gangguan dasar mengenai fungsi mental sama saja, tidak tergantung pada penyakit yang menyebabkannya. Jika disebabkan oleh proses yang langsung menyerang otak , bila proses itu sembuh maka gejala-gejalanya tergantung pada besarnya kerusakan yang ditinggalkan gejala-gejala neurologik dan atau gangguan mental dengan gejala utama gangguan intelegensi. Bisa juga didapatkan adanya febris. Terdapat gejala psikiatrik bila sangat mengganggu dapat diberikan neroleptika, terutama yang mempunyai dosis efektif tinggi.

E. Penatalaksanaan
a. Pengobatan etiologik harus sedini mungkin dan di samping faal otak dibantu agar tidak terjadi kerusakan otak yang menetap.
b. Peredaran darah harus diperhatikan (nadi, jantung dan tekanan darah), bila perlu diberi stimulansia.
c. Pemberian cairan harus cukup, sebab tidak jarang terjadi dehidrasi. Hati-hati dengan sedativa dan narkotika (barbiturat, morfin) sebab kadang-kadang tidak menolong, tetapi dapat menimbulkan efek paradoksal, yaitu klien tidak menjadi tenang, tetapi bertambah gelisah.
d. Klien harus dijaga terus, lebih-lebih bila ia sangat gelisah, sebab berbahaya untuk dirinya sendiri (jatuh, lari dan loncat keluar dari jendela dan sebagainya) ataupun untuk orang lain.
e. Dicoba menenangkan klien dengan kata-kata (biarpun kesadarannya menurun) atau dengan kompres es. Klien mungkin lebih tenang bila ia dapat melihat orang atau barang yang ia kenal dari rumah. Sebaiknya kamar jangan terlalu gelap , klien tidak tahan terlalu diisolasi.
f. Terdapat gejala psikiatrik bila sangat mengganggu dapat diberikan neroleptika, terutama yang mempunyai dosis efektif tinggi.

II. ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
Indentias klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa/latar belakang kebudayaan, status sipil, pendidikan, pekerjaan dan alamat.

2. Keluhan utama
Keluhan utama atau sebab utama yang menyebbkan klien datang berobat (menurut klien dan atau keluarga). Gejala utama adalah kesadaran menurun.

3. Faktor predisposisi
Menemukan gangguan jiwa yang ada sebagai dasar pembuatan diagnosis serta menentukan tingkat gangguan serta menggambarkan struktur kepribadian yang mungkin dapat menerangkan riwayat dan perkembangan gangguan jiwa yang terdapat. Dari gejala-gejala psikiatrik tidak dapat diketahui etiologi penyakit badaniah itu, tetapi perlu dilakukan pemeriksaan intern dan nerologik yang teliti. Gejala tersebut lebih ditentukan oleh keadaan jiwa premorbidnya, mekanisme pembelaaan psikologiknya, keadaan psikososial, sifat bantuan dari keluarga, teman dan petugas kesehatan, struktur sosial serta ciri-ciri kebudayaan sekelilingnya. Gangguan jiwa yang psikotik atau nonpsikotik yang disebabkan oleh gangguan jaringan fungsi otak. Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak (meningoensephalitis, gangguan pembuluh darah ootak, tumur otak dan sebagainya) atau yang terutama di luar otak atau tengkorak (tifus, endometriasis, payah jantung, toxemia kehamilan, intoksikasi dan sebagainya).

4. Pemeriksaan fisik
Kesadran yang menurun dan sesudahnya terdapat amnesia. Tensi menurun, takikardia, febris, BB menurun karena nafsu makan yang menurun dan tidak mau makan.

5. Psikososial
a. Genogram Dari hasil penelitian ditemukan kembar monozigot memberi pengaruh lebih tinggi dari kembar dizigot .
b. Konsep diri
• Ganbaran diri, tressor yang menyebabkan berubahnya gambaran diri karena proses patologik penyakit.
• Identitas, bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan individu.
• Peran, transisi peran dapat dari sehat ke sakit, ketidak sesuaian antara satu peran dengan peran yang lain dan peran yang ragu diman aindividu tidak tahun dengan jelas perannya, serta peran berlebihan sementara tidak mempunyai kemmapuan dan sumber yang cukup.
• Ideal diri, keinginann yang tidak sesuai dengan kenyataan dan kemampuan yang ada.
• Harga diri, tidakmampuan dalam mencapai tujuan sehingga klien merasa harga dirinya rendah karena kegagalannya.
c. Hubungan sosial
Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang disingkirkan atau kesepian, yang selanjutnya tidak dapat diatasi sehingga timbul akibat berat seperti delusi dan halusinasi. Konsep diri dibentuk oleh pola hubungan sosial khususnya dengan orang yang penting dalam kehidupan individu. Jika hubungan ini tidak sehat maka individu dalam kekosongan internal. Perkembangan hubungan sosial yang tidak adeguat menyebabkan kegagalan individu untuk belajar mempertahankan komunikasi dengan orang lain, akibatnya klien cenderung memisahkan diri dari orang lain dan hanya terlibat dengan pikirannya sendiri yang tidak memerlukan kontrol orang lain. Keadaa ini menimbulkan kesepian, isolasi sosial, hubungan dangkal dan tergantung.

d. Spiritual
Keyakina klien terhadapa agama dan keyakinannya masih kuat.a tetapi tidak atau kurang mampu dalam melaksnakan ibadatnmya sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

6. Status mental
a. Penampila klien tidak rapi dan tidak mampu utnuk merawat dirinya sendiri.
b. Pembicaraan keras, cepat dan inkoheren.
c. Aktivitas motorik, Perubahan motorik dapat dinmanifestasikan adanya peningkatan kegiatan motorik, gelisah, impulsif, manerisme, otomatis, steriotipi.

d. Alam perasaan
Klien nampak ketakutan dan putus asa.

e. Afek dan emosi.
Perubahan afek terjadi karena klien berusaha membuat jarak dengan perasaan tertentu karena jika langsung mengalami perasaa tersebut dapat menimbulkan ansietas. Keadaan ini menimbulkan perubahan afek yang digunakan klien untukj melindungi dirinya, karena afek yang telah berubahn memampukan kien mengingkari dampak emosional yang menyakitkan dari lingkungan eksternal. Respon emosional klien mungkin tampak bizar dan tidak sesuai karena datang dari kerangka pikir yang telah berubah. Perubahan afek adalah tumpul, datar, tidak sesuai, berlebihan dan ambivalen.

f. Interaksi selama wawancara
Sikap klien terhadap pemeriksa kurawng kooperatif, kontak mata kurang.

g. Persepsi
Persepsi melibatkan proses berpikir dan pemahaman emosional terhadap suatu obyek. Perubahan persepsi dapat terjadi pada satu atau kebiuh panca indera yaitu penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan pengecapan. Perubahan persepsi dapat ringan, sedang dan berat atau berkepanjangan. Perubahan persepsi yang paling sering ditemukan adalah halusinasi.

h. Proses berpikir
Klien yang terganggu pikirannya sukar berperilaku kohern, tindakannya cenderung berdasarkan penilaian pribadi klien terhadap realitas yang tidak sesuai dengan penilaian yang umum diterima.
Penilaian realitas secara pribadi oleh klien merupakan penilaian subyektif yang dikaitkan dengan orang, benda atau kejadian yang tidak logis.(Pemikiran autistik). Klien tidak menelaah ulang kebenaran realitas. Pemikiran autistik dasar perubahan proses pikir yang dapat dimanifestasikan dengan pemikian primitf, hilangnya asosiasi, pemikiran magis, delusi (waham), perubahan linguistik (memperlihatkan gangguan pola pikir abstrak sehingga tampak klien regresi dan pola pikir yang sempit misalnya ekholali, clang asosiasi dan neologisme.

i. Tingkat kesadaran
Kesadran yang menurun, bingung. Disorientasi waktu, tempat dan orang.

j. Memori
Gangguan daya ingat yang baru saja terjadi )kejadian pada beberapa jam atau hari yang lampau) dan yang sudah lama berselang terjadi (kejadian beberapa tahun yang lalu).

k. Tingkat konsentrasi
Klien tidak mampu berkonsentrasi

l. Kemampuan penilaian
Gangguan ringan dalam penilaian atau keputusan.

7. Kebutuhan klien sehari-hari
a. Tidur, klien sukar tidur karena cemas, gelisah, berbaring atau duduk dan gelisah . Kadang-kadang terbangun tengah malam dan sukar tidur kemabali. Tidurnya mungkin terganggu sepanjang malam, sehingga tidak merasa segar di pagi hari.
b. Selera makan, klien tidak mempunyai selera makan atau makannya hanya sedikit, karea putus asa, merasa tidak berharga, aktivitas terbatas sehingga bisa terjadi penurunan berat badan.
c. Eliminasi
Klien mungkin tergnaggu buang air kecilnya, kadang-kdang lebih sering dari biasanya, karena sukar tidur dan stres. Kadang-kadang dapat terjadi konstipasi, akibat terganggu pola makan.

8. Mekanisme koping
Apabila klien merasa tridak berhasil, kegagalan maka ia akan menetralisir, mengingkari atau meniadakannya dengan mengembangkan berbagai pola koping mekanisme. Ketidak mampuan mengatasi secara konstruktif merupakan faktor penyebab primer terbentuknya pola tiungkah laku patologis. Koping mekanisme yang digunakan seseorang dalam keadaan delerium adalah mengurangi kontak mata, memakai kata-kata yang cepat dan keras (ngomel-ngomel) dan menutup diri.

9. Dampak masalah
a. Individu
• Perilaku, klien muningkin mengbaikan atau mendapat kesulitan dalam melakukan kegiatas sehari-hari seperti kebersihan diri misalnya tidak mau mandi, tidak mau menyisir atau mengganti pakaian.
• Kesejahateraan dan konsep diri, klien merasa kehilangan harga diri, harga diri rendah, merasa tidak berarti, tidak berguna dan putus asa sehingga klien perlu diisolasi.
• Kemadirian , klien kehilangan kemandirian adan hidup ketergantungan pada keluarga atau oorang yang merawat cukup tinggi, sehingga menimbulkan stres fisik.

10. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko terhadap penyiksaan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan berespon pada pikiran delusi dan halusinasi.
b. Koping individu yang tidak efektif berhubungan dengan ketidakmampuan cara mengekspresikan secara konstruktif.
c. Perubahahn proses berpikir berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mempercayai orang
d. Risiko terjadi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, status emoosional yang meningkat.
e. Kesukaran komunikasi verbal berhubungan dengan pola komunikasi yang tak logis atau inkohern dan efek samping obat-obatan, tekanan bicara dan hiperaktivitas.
f. Kurangnya interaksi sosial (isolasi sosial) berhubungan dengan sistem penbdukung yang tidak adequat.
g. Kurangnya perawatan diri berhubugan dengan kemauan yang menurun
h. Perubahan pola tidur berhubungan dengan hiperaktivitas, respon tubuh pada halusinasi.
i. Ketidaktahuan keluarga dan klien tentang efek samping obat antipsikotik berhubungan dengan kurangnya informasi.
B. Rencana Tindakan
a. Risiko terhadap penyiksaan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan berespon pada pikiran delusi dan halusinasi.
Batasan kriteria :
Sasaran jangka pendek :
Dalam 2 minggu klien dapat mengenal tanda-tanda peningkatan kegelisahan dan melaprkan pada perwat agasr dapat diberikan intervensi sesuai kebutuhan.
Sasaran jangka panjang :
Klien tidak akan membahayakan diri, orang lain dan lingkungan selama di rumah sakit.

INTERVENSI RASIONAL
1. Pertahankan agar lingkungan klien pada tingkat stimulaus yang rendah (penyinaran rendah, sedikit orang, dekorasi yang sederhana dan tingakat kebisingan yang rendah)
2. Ciptakan lingkungan psikososial :
• sikap perawat yang bersahabat, penuh perhatian, lembuh dan hangat)
• Bina hubungan saling percaya (menyapa klien dengan rama memanggil nama klien, jujur , tepat janji, empati dan menghargai.
• Tunjukkan perwat yang bertanggung jawab
3. Observasi secara ketat perilaku klien (setiap 15 menit)

4. Kembangkan orientasi kenyataan :
• Bantu kien untuk mengenal persepsinya
• Beri umpan balik tentang perilaku klien tanpa menyokong atau membantah kondoisinya
• Beri kesempatan untuk mengungkapkan persepsi an daya orientasi
5. Lindungi klien dan keluarga dari bahaya halusinasi :
• Kajiu halusinasi klien
• Lakukan tindakan pengawasan ketat, upayakan tidak melakukan pengikatan.
6. Tingkatkan peran serta keluarga pada tiap tahap perawatan dan jelaskan prinsip-prinsip tindakan pada halusinasi.
7. Berikan obat-obatan antipsikotik sesuai dengan program terapi (pantau keefektifan dan efek samping obat). 1. Tingkat ansietas atau gelisah akan meningkat dalam lingkungan yang penuh stimulus.

2. Lingkungan psikososial yang terapeutik akan menstimulasi kemampuan perasaan kenyataan.

3. Observasi ketat merupakan hal yang penting, karena dengan demikian intervensi yang tepat dapat diberikan segera dan untuk selalu memastikan bahwa kien berada dalam keadaan aman
4. Klien perlu dikembangkan kemampuannya untuk menilai realita secara adequat agar klien dapat beradaptasi dengan lingkungan.Klien yang berada dalam keadaan gelisah, bingung, klien tidak menggunakan benda-benda tersebut untuk membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

5. Klien halusinasi pada faase berat tidak dapat mengontrol perilakunya. Lingkungan yang aman dan pengawasan yang tepat dapat mencegah cedera.

6. Klien yang sudah dapat mengontrol halusinasinya perlu sokongan keluarga untuk mempertahnkannya.

7. Obat ini dipakai untuk mengendalikan psikosis dan mengurangi tanda-tanda agitasi.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, status emosional yang meningkat.
Batasan kriteria :
Penurunan berat badan, konjunctiva dan membran mukosa pucat, turgor kulit jelek, ketidakseimbangan elktrolit dan kelemahan)
Sasaran jangka pendek :
Klien dapat mencapai pertambahan 0,9 kg t hari kemudian
Hasil laboratorium elektrolit sserum klien akan kembali dalam batas normal dalam 1 minggu
Sasaran jangka panjang :
Klien tidak memperlihatkan tanda-tanda /gejala malnutrisi saat pulang.

INTERVENSI RASIONAL
1. Monitor masukan, haluaran dan jumlah kalori sesuai kebutuhan.
2. timbang berat badan setiap pagi sebelum bangun
3. Jelaskan pentingnya nutrisi yang cukup bagi kesehatan dan proses penyembuhan.

4. Kolaborasi
• Dengan ahli gizi untuk menyediakan makanan dalam porsi yang cukup sesuai dengan kebutuhan
• Pemberian cairan perparenteral (IV-line)
• Pantau hasil laboraotirum (serum elektrolit)

5. Sertakan keluarga dalam memnuhi kebutuhan sehari-hari (makan dan kebutuhan fisiologis lainnya) 1. Informasi ini penting untuk membuat pengkajian nutrisi yang akurat dan mempertahankan keamanan klien.
2. Kehilangan berat badan merupakan informasi penting untuk mengethui perkembangan status nutrisi klien.
Klien mungkin tidak memiliki pengetahuan yang cukup atau akurat berkenaan dengan kontribusi nutrisi yang baik untuk kesehatan.
4. Kolaborasi :
• Klien lebih suka menghabiskan makan yang disukai oleh klien.

• Cairan infus diberikan pada klien yang tidak, kurang dalam mengintake makanan.
• Serrum elektrolit yang normal menunjukkan adanya homestasis dalam tubuh.
5. Perawat bersama keluarga harus memperhatikan pemenuhan kebutuhan secara adequat.

c. Kurangnya interaksi sosial (isolasi sosial) berhubungan dengan sistem penbdukung yang tidak adequat.
Batasan kriteria :
Kurang rasa percaya pada orang lain, sukar berinteraksi dengan orang lain, komnuikasi yang tidak realistik, kontak mata kurang, berpikir tentang sesuatu menurut pikirannya sendiri, afek emosi yang dangkal.
Sasaran jangka pendek :
Klien siap masuk dalam terapi aktivitas ditemani oleh seorang perawat yang dipercayai dalam 1 minggu.
Sasaran jangka panjang :
Klien dapat secara sukarela meluangkan waktu bersama klien lainnya dan perawat dalam aktivitas kelompok di unit rawat inap.
INTERVENSI RASIONAL
1. Ciptakan lingkungan terapeutik :
– bina hubungan saling percaya ((menyapa klien dengan rama memanggil nama klien, jujur , tepat janji, empati dan menghargai).
– tunjukkan perawat yang bertanggung jawab
– tingkatkan kontak klien dengan lingkungan sosial secara bertahap
2. Perlihatkan penguatan positif pada klien.
Temani klien untuk memperlihatkan dukungan selama aktivitas kelompok yang mungkin mnerupakan hal yang sukar bagi klien.
3. Orientasikan klien pada waktu, tempat dan orang.
4. Berikan obat anti psikotik sesuai dengan program terapi. 1. Lingkungan fisik dan psikososial yang terapeutik akan menstimulasi kemmapuan klien terhadap kenyataan.

2. hal ini akan membuat klien merasa menjado orang yang berguna.

3. kesadran diri yang meningkat dalam hubungannya dengan lingkungan waktu, tempat dan orang.
4. Obat ini dipakai untuk mengendalikan psikosis dan mengurangi tanda-tanda agitasi

d. Kurangnya perawatan diri berhubugan dengan kemauan yang menurun
Batasan kriteria :
Kemauan yang kurang untuk membersihkan tubuh, defekasi, be3rkemih dan kurang minat dalam berpakaian yang rapi.
Sasaran jangka pendek :
Klien dapat mengatakan keinginan untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari dalam 1 minggu
Sasaran jangka panjang :
Klien ampu melakukan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri dan mendemosntrasikan suatu keinginan untuk melakukannya.
INTERVENSI RASIONAL
1. Dukung klien untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari sesuai dengan tingkat kemampuan kien.
2. Dukung kemandirina klien, tetapi beri bantuan kien saat kurang mampu melakukan beberapa kegiatan.
3. Berikan pengakuan dan penghargaan positif untuk kemampuan mandiri.

4. Perlihatkan secara konkrit, bagaimana melakukan kegiatan yang menurut kien sulit untuk dilakukaknya.
1. Keberhasilan menampilkan kemandirian dalam melakukan suatu aktivitas akan meningkatkan harga diri.

2. Kenyamanan dan keamanan klien merupakan priotoritas dalam keperawatan.

3. Penguatan positif akan menignkatakan harga diri dan mendukung terjadinya pengulangan perilaku yang diharapkan.
4. Karena berlaku pikiran yang konkrit, penjelasan harus diberikan sesuai tingkat pengetian yang nyata.

e. Ketidaktahuan keluarga dan klien tentang efek samping obat antipsikotik berhubungan dengan kurangnya informasi.
Batasan kriteria :
Adanya pertanyaan kurangnya pengetahuan, permintaaan untuk mendaptkan informasi dan mengastakan adanya permaslah yang dialami kien.
Sasaran jangka pendek :
Klien dapat mengatakan efek terhadap tubuh yang diikuti dengan implemetasi rencana pengjaran.
Sasaran jangka panjang :
Klien dapat mengatan pentingnya mengetahui dan kerja sama dalam memantau gejala dan tanda efek samping obat.
INTERVENSI RASIONAL
1. Pantau tanda-tanda vital

2. Tetaplah bersama klien ketika minum obat antipsikotik

3. Amati klien akan adanya EPS, 4. Pantau keluaran urine,dan glukosa urine

4. Beritahu klien bahwa dapat terjadi perubahan yang berkaitandengan fungsi seksual dan menstruasi. 1. Hipotensi ortostatik mungikn terjadi pada pemakain obat antipsikotik, Pemeriksaan tekanan darah dalam posisi berbaring, dudujk dan berdiri.
2. Beberapa klien mungkin menyembusnyikan oabt-obat tersebut.
3. distonia akut (spame lidah, wajah, leher dan punggung), akatisia (gelisah, tidak dapat duduk dengantenag, mengetuk-negetukan kaki,pseudoparkinsonisme (tremor otot, rifgiditas, berjalan dengan menyeret kaki) dan diskinesia tardif (mengecapkan bibir, menjulurkan lidah dan gerakan mengunyah yang konstan).
4. Wanita dapat mempunyai periode menstruasi yang tidak teratus atau amenorhea dan pria mungkin mengalmi impotens atau ginekomastik.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KATARAK

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN KATARAK

A. DEFINISI
Katarak adalah nama yang diberikan untuk kekeruhan lensa yang mengakibatkan pengurangan visus oleh suatu tabir/layar yang diturunkan di dalam mata, seperti melihat air terjun.
Jenis katarak yang paling sering ditemukan adalah katarak senilis dan katarak senilis ini merupakan proses degeneratif (kemunduran ). Perubahan yang terjadi bersamaan dengan presbiopi, tetapi disamping itu juga menjadi kuning warnanya dan keruh, yang akan mengganggu pembiasan cahaya.
Walaupun disebut katarak senilis tetapi perubahan tadi dapat terjadi pada umur pertengahan, pada umur 70 tahun sebagian individu telah mengalami perubahan lensa walau mungkin hanya menyebabkan sedikit gangguan penglihatan.

B. ETIOLOGI
1. Ketuaan ( Katarak Senilis )
2. Trauma
3. Penyakit mata lain ( Uveitis )
4. Penyakit sistemik (DM)
5. Defek kongenital ( salah satu kelainan herediter sebagai akibat dari infeksi virus prenatal, seperti German Measles )

C. PATOFISIOLOGI
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan, berbentuk seperti kancing baju, mempunyai kekuatan refraksi yang besar. Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona sentral terdapat nukleus, di perifer ada korteks, dan yan mengelilingi keduanya adalah kapsula anterior dan posterior. Dengan bertambahnya usia, nukleus mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan . Di sekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di anterior dan poterior nukleus. Opasitaspada kapsul poterior merupakan bentuk aktarak yang paling bermakna seperti kristal salju.
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya traansparansi. Perubahan dalam serabut halus multipel (zonula) yang memaenjang dari badan silier ke sekitar daerah di luar lensa. Perubahan kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi, sehingga mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal disertai influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita katarak.
Katarak bisa terjaadi bilateral, dapat disebabkan oleh kejadian trauma atau sistemis (diabetes) tetapi paling sering karena adanya proses penuaan yang normal. Faktor yang paling sering berperan dalam terjadinya katarak meliputi radiasi sinar UV, obat-obatan, alkohol, merokok, dan asupan vitamin antioksidan yang kurang dalam jangka waktu yang lama.

D. MANIFESTASI KLINIK
Katarak didiagnosis terutama dengan gejala subjektif. Biasanya klien melaporkan penurunan ketajaman penglihatan dan silau serta gangguan fungsional sampai derajat tertentu yang diakibatkan oleh kehilangan penglihatan tadi. Temuan objektif biasanya meliputi pengembunann seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina tak aakan tampak dengan oftalmoskop. Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya akan dipendarkan dan bukannya ditransmisikan dengan tajam menjadi bayangan terfokus pada retina. Hasilnya adalah pendangan menjadi kabur atau redup, emnyilaukan yang menjengkelkan dengan distorsi bayangan dan susah melihat di malam hari. Pupil yang normalnya hitam akan tampak abu-abu atau putih.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Kartu mata snellen /mesin telebinokuler : mungkin terganggu dengan kerusakan kornea, lensa, akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi, penyakit sistem saraf, penglihatan ke retina.
2. Lapang Penglihatan : penuruan mngkin karena massa tumor, karotis, glukoma.
3. Pengukuran Tonografi : TIO (12 – 25 mmHg)
4. Pengukuran Gonioskopi membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup glukoma.
5. Tes Provokatif : menentukan adanya/ tipe gllukoma
6. Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng optik, papiledema, perdarahan.
7. Darah lengkap, LED : menunjukkan anemi sistemik / infeksi.
8. EKG, kolesterol serum, lipid
9. Tes toleransi glukosa : kotrol DM

F. PENATALAKSANAAN
Bila penglihatan dapat dikoreksi dengan dilator pupil dan refraksi kuat sampai ke titik di mana pasien melakukan aktivitas sehari-hari, maka penanganan biasanya konservatif.
Pembedahan diindikasikan bagi mereka yang memerlukan penglihatan akut untuk bekerja ataupun keamanan. Biasanya diindikasikan bila koreksi tajam penglihatan yang terbaik yang dapat dicapai adalah 20/50 atau lebih buruk lagi bila ketajaman pandang mempengaruhi keamanan atau kualitas hidup, atau bila visualisasi segmen posterior sangat perlu untuk mengevaluasi perkembangan berbagai penyakit retina atau sarf optikus, seperti diabetes dan glaukoma.
Ada 2 macam teknik pembedahan ;
1. Ekstraksi katarak intrakapsuler
Adalah pengangkatan seluruh lensa sebagai satu kesatuan.

2. Ekstraksi katarak ekstrakapsuler
Merupakan tehnik yang lebih disukai dan mencapai sampai 98 % pembedahan katarak. Mikroskop digunakan untuk melihat struktur mata selama pembedahan.

G. PENGKAJIAN.KEPERAWATAN
1. Aktifitas Istirahat
Perubahan aktifitas biasanya/hobi sehubungan dengan gangguan penglihatan.
2. Neurosensori
Gangguan penglihatan kabur/tak jelas, sinar terang menyababkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat/merasa diruang gelap. Penglihatan berawan/kabur, tampak lingkaran cahaya/pelangi di sekitar sinar, perubahan kacamata, pengobatan tidak memperbaiki penglihatan, fotofobia ( glukoma akut ).
Tanda : Tampak kecoklatan atau putih susu pada pupil (katarak), pupil menyempit dan merah/mata keras dan kornea berawan (glukoma darurat, peningkatan air mata.
3. Nyeri / Kenyamanan
Ketidaknyamanan ringan / mata berair. Nyeri tiba-tiba / berat menetap atau tekanan pada atau sekitar mata, sakit kepala

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
1. Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan kehilangan vitreus, perdarahan intraokuler, peningkatan TIO ditandai dengan :
 Adanya tanda-tanda katarak penurunan ketajaman penglihatan
 pandangan kabur, dll
Tujuan :
Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat dalam kemungkinan cedera.
Kriteria hasil :
– Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan untuk melindungi diri dari cedera.
– Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan.
Intervensi :
– Diskusikan apa yang terjadi tentang kondisi paska operasi, nyeri, pembatasan aktifitas, penampilan, balutan mata.
– Beri klien posisi bersandar, kepala tinggi, atau miring ke sisi yang tak sakit sesuai keinginan.
– Batasi aktifitas seperti menggerakan kepala tiba-tiba, menggaruk mata, membongkok.
– Ambulasi dengan bantuan : berikan kamar mandi khusus bila sembuh dari anestesi.
– Dorong nafas dalam, batuk untuk menjaga kebersihan paru.
– Anjurkan menggunakan tehnik manajemen stress.
– Pertahankan perlindungan mata sesuai indikasi.
– Minta klien membedakan antara ketidaknyamanan dan nyeri tajam tiba-tiba, Selidiki kegelisahan, disorientasi, gangguan balutan. Observasi hifema dengan senter sesuai indikasi.
– Observasi pembengkakan lika, bilik anterior kempes, pupil berbentuk buah pir.
– Berikan obat sesuai indikasi antiemetik, Asetolamid, sikloplegis, analgesik.

2. Gangguan peersepsi sensori-perseptual penglihatan berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori/status organ indera, lingkungna secara terapetik dibatasi. Ditandai dengan :
 menurunnyaketajaman penglihatan
 perubahan respon biasanya terhadap rangsang.
Tujuan :
Meningkatkan ketajaman penglihatan dalam batas situasi individu, mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan.
Kriteria Hasil :
– Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan.
– Mengidentifikasi/memperbaiki potensial bahaya dalam lingkungan.
Intervensi :
– Tentukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau dua mata terlibat.
– Orientasikan klien tehadap lingkungan
– Observasi tanda-tanda disorientasi.
– Pendekatan dari sisi yang tak dioperasi, bicara dengan menyentuh.
– Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur dan iritasi mata, dimana dapat terjadi bila menggunakan tetes mata.
– Ingatkan klien menggunakan kacamata katarak yang tujuannya memperbesar kurang lebih 25 persen, pelihatan perifer hilang dan buta titik mungkin ada.
– Letakkan barang yang dibutuhkan/posisi bel pemanggil dalam jangkauan/posisi yang tidak dioperasi.

3. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi, kurang terpajan/mengingat, keterbatasan kognitif, yang ditandai dengan :
 pertanyaan/pernyataan salah konsepsi
 tak akurat mengikuti instruksi
 terjadi komplikasi yang dapat dicegah.

Tujuan :
Klien menunjukkan pemhaman tentang kondisi, proses penyakit dan pengobatan.
Kriteria Hasil :
Melakukan dengan prosedur benar dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi :
– Kaji informasi tentang kondisi individu, prognosis, tipe prosedur, lensa.
– Tekankan pentingnya evaluasi perawatan rutin, beritahu untuk melaporkan – penglihatan berawan.
– Informasikan klien untuk menghindari tetes mata yang dijual bebas.
– Diskusikan kemungkinan efek/interaksi antar obat mata dan masalah medis klien.
– Anjurkan klien menghindari membaca, berkedip, mengangkat berat, mengejan saat defekasi, membongkok pada panggul, dll.
– Dorong aktifitas pengalihan perhatian.
– Anjurkan klien memeriksa ke dokter tentang aktifitas seksual, tentukan kebutuhan tidur menggunakan kacamata pelindung.
– Anjurkan klien tidur terlentang.
– Dorong pemasukkan cairan adekuat.
– Identifikasi tanda/gejala memerlukan upaya evaluasi medis, misal : nyeri tiba-tiba.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyan E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Alih bahasa: I Made Kariasa. Jakarta . EGC

Long, C Barbara. 1996.Perawatan Medikal Bedah : 2.Bandung. Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran

Margaret R. Thorpe. Perawatan Mata. Yogyakarta . Yayasan Essentia Medica

Nettina, Sandra M. 2001. Pedoman Praktik Keperawatan. Alih bahasa : Setiawan Sari. Jakarta. EGC

Sidarta Ilyas. 2001. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta. FKUI

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa : Agung Waluyo. Jakarta. EGC

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ABLASIO RETINA

ABLASIO RETINA

PENGERTIAN
Ablasio retina terjadi bila ada pemisahan retina neurosensori dari lapisan epitel berpigmen retina dibawahnya karena retina neurosensori, bagian retina yang mengandung batang dan kerucut, terkelupas dari epitel berpigmen pemberi nutrisi, maka sel fotosensitif ini tak mampu melakukan aktivitas fungsi visualnya dan berakibat hilangnya penglihatan (C. Smelzer, Suzanne, 2002).

PENYEBAB
a. Malformasi kongenital
b. Kelainan metabolisme
c. Penyakit vaskuler
d. Inflamasi intraokuler
e. Neoplasma
f. Trauma
g. Perubahan degeneratif dalam vitreus atau retina
(C. Smelzer, Suzanne, 2002).

MANIFESTASI KLINIS
• Riwayat melihat benda mengapung atau pendaran cahaya atau keduanya
• Floater dipersepsikan sebagai titik-titik hitam kecil/rumah laba-laba
• Pasien akan melihat bayangan berkembang atau tirai bergerak dilapang pandang ketika retina benar-benar terlepas dari epitel berpigmen
• Penurunan tajam pandangan sentral aau hilangnya pandangan sentral menunjjukkan bahwa adanya keterlibatan makula

PENATALAKSANAAN

 Tirah baring dan aktivitas dibatasi
 Bila kedua mata dibalut, perlu bantuan oranglain untuk mencegah cidera
 Jika terdapat gelombang udara di dalam mata, posisi yang dianjurkan harus dipertahannkan sehingga gas mampu memberikan tamponade yang efektif pada robekan retina
 Pasien tidak boleh terbaring terlentang
 Dilatasi pupil harus dipertahankan untuk mempermudah pemeriksaan paska operasi
 Cara Pengobatannya:
• Prosedur laser
Untuk menangani ablasio retina eksudatif/serosa sehubungan dengan proses yang berhubungan dengan tumor atau inflamasi yang menimbulkan cairansubretina yang tanpa robekan retina.
Tujuannya untuk membentuk jaringan parut pada retina sehingga melekatkannya ke epitel berpigmen.
• Pembedahan
Retinopati diabetika /trauma dengan perdarahan vitreus memerlukan pembedahan vitreus untuk mengurangi gaya tarik pada retina yang ditimbulkan.
Pelipatan (buckling) sklera merupakan prosedur bedah primer untuk melekatkan kembali retina.
• Krioterapi transkleral
Dilakukan pada sekitar tiap robekan retina menghasilkan adhesi korioretina yang melipat robekan sehingga cairan vitreus tak mampu lagi memasuki rongga subretina. Sebuah/ beberapa silikon (pengunci) dijahitkan dan dilipatkan ke dalam skler, secara fisik akan mengindensi/melipat sklera, koroid, danlapisan fotosensitif ke epitel berpigmen, menahan robekan ketika retina dapat melekat kembali ke jaringan pendukung dibawahnya, maka fungsi fisiologisnya ormalnya dapat dikembalikan.
(C. Smelzer, Suzanne, 2002).

KOMPLIKASI
a. Komplikasi awal setelah pembedahan
 Peningkatan TIO
 Glaukoma
 Infeksi
 Ablasio koroid
 Kegagalan pelekatan retina
 Ablasio retina berulang
b. Komplikasi lanjut
 Infeksi
 Lepasnya bahan buckling melalui konjungtiva atau erosi melalui bola mata
 Vitreo retinpati proliveratif (jaringan parut yang mengenai retina)
 Diplopia
 Kesalahan refraksi
 astigmatisme

PATHWAYS
Inflamasi intraokuler/tumor perub degeneratif dlm viterus

Konsentrasi as. Hidlorunat ber(-)
Peningkatan cairan eksudattif/sserosa
Vitreus mjd makin cair

Vitreus kolaps dan bengkak ke depan

Tarikan retina

Robekan retina

Sel-sel retina dan darah terlepas

Retina terlepas dari epitel berpigmen

Penurunan tajam pandang sentral
Ditandai dengan:
– floater dipersepsikan sbg titik-titik hitamkecil/rumah laba-laba
– Bayangan berkembang/tirai bergerak dilapang pandang

DAFTAR PUSTAKA

C. Smeltzer, Suzanne (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Brunner & Suddart) . Edisi 8. Volume 3. EGC. jakarta

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TRAUMA TEMBUS PADA MATA

RUPTUR CORNEA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI MATA
Secara garis besar anatomi mata dapat dikelompokkan menjadi empat bagian, dan untuk ringkasnya fisiologi mata akan diuraikan secara terpadu. Keempat kelompok ini terdiri dari :
1) Palpebra
Dari luar ke dalam terdiri dari: kulit, jaringan ikat lunak, jaringan otot, tarsus, vasia dan konjungtiva.
Fungsi dari palpebra adalah untuk melindungi bola mata, bekerja sebagai jendela memberi jalan masuknya sinar kedalam bola mata, juga membasahi dan melicinkan permukaan bola mata.
2) Rongga mata
Merupakan suatu rongga yang dibatasi oleh dinding dan berbentuk sebagai piramida kwadrilateral dengan puncaknya kearah foramen optikum. Sebagian besar dari rongga ini diisi oleh lemak, yang merupakan bantalan dari bola mata dan alat tubuh yang berada di dalamnya seperti: urat saraf, otot-otot penggerak bola mata, kelenjar air mata, pembuluh darah
3) Bola mata
Menurut fungsinya maka bagian-bagiannya dapat dikelompokkan menjadi:
– Otot-otot penggerak bola mata
– Dinding bola mata yang teriri dari: sclera dan kornea. Kornea kecuali sebagai dinding juga berfungsi sebagai jendela untuk jalannya sinar.
– Isi bola mata, yang terdiri atas macam-macam bagian dengan fungsinya masing-masing
4) Sistem kelenjar bola mata
Terbagi menjadi dua bagian:
– Kelenjar air mata yang fungsinya sebagai penghasil air mata
– Saluran air mata yang menyalurkan air mata dari fornik konjungtiva ke dalam rongga hidung

B. DEFINISI
Trauma tembus pada mata adalah suatu trauma dimana seluruh lapisan jaringan atau organ mengalami kerusakan.

C. ETIOLOGI
Trauma tembus disebabkan benda tajam atau benda asing masuk kedalam bola mata.

D. TANDA DAN GEJALA
1) Tajam penglihatan yang menurun
2) Tekanan bola mata rndah
3) Bilikmata dangkal
4) Bentuk dan letak pupil berubah
5) Terlihat adanya ruptur pada corneaatau sclera
6) Terdapat jaringan yang prolapsseperti caiaran mata iris,lensa,badan kaca atau retina
7) Kunjungtiva kemotis

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiology pada trauma mata sangat membantu dalam menegakkan diagnosa, terutama bila ada benda asing .Pemeriksaan ultra sonographi untuk menentukan letaknya, dengan pemeriksaan ini dapat diketahui benda tersebut pada bilik mata depan, lensa, retina.
b. Pemeriksaan “Computed Tomography” (CT)
Suatu tomogram dengan menggunakan komputer dan dapat dibuat “scanning” dari organ tersebut.

F. PENATALAKSANAAN
Bila terlihat salah satu tanda diatas atau dicurigai adanya perforasi bola mata, maka secepatnya dilakukan pemberian antibiotik topical, mata ditutup, dan segera dikirim kepada dokter mata untuk dilakukan pembedahan. Sebaiknya dipastikan apakah ada benda asing yang masuk ke dalam mata dengan membuat foto. Pada pasien dengan luka tembus bola mata selamanya diberikan antibiotik sistemik atau intravena dan pasien dikuasakan untuk kegiatan pembdahan. Pasien juga diberi antitetanus provilaksis, dan kalau perlu penenang. Trauma tembus dapat terjadi akibat masuknya benda asing ke dalam bola mata. Benda asing didalam bola mata pada dasarnya perlu dikeluarkan dan segera dikirim ke dokter mata. Benda asing yang bersifat magnetic dapat dikeluarkan dengan mengunakan magnet raksasa. Benda yang tidak magnetic dikeluarkan dengan vitrektomi. Penyulit yang dapat timbul karena terdapatnya benda asing intraokular adalah indoftalmitis, panoftalmitis, ablasi retina, perdarahan intraokular dan ftisis bulbi.

G. PATOFISIOLOGI
Trauma tembus pada mata karena benda tajam maka dapat mengenai organ mata dari yang terdepan sampai yang terdalam. Trauma tembus bola mata bisa mengenai :
1) Palpebra
Mengenai sebagian atau seluruhnya jika mengenai levator apaneurosis dapat menyebabkan suatu ptosis yang permanen
2) Saluran Lakrimalis
Dapat merusak sistem pengaliran air mata dai pungtum lakrimalis sampai ke rongga hidung. Hal ini dapat menyeabkan kekurangan air mata.
3) Congjungtiva
Dapat merusak dan ruptur pembuluh darah menyebabkan perdarahan sub konjungtiva
4) Sklera
Bila ada luka tembus pada sklera dapat menyebabkan penurunan tekana bola mata dan kamera okuli jadi dangkal (obliteni), luka sklera yang lebar dapat disertai prolap jaringan bola mata, bola mata menjadi injury.
5) Kornea
Bila ada tembus kornea dapat mengganggu fungsi penglihatan karena fungsi kornea sebagai media refraksi. Bisa juga trauma tembus kornea menyebabkan iris prolaps, korpusvitreum dan korpus ciliaris prolaps, hal ini dapat menurunkan visus
6) Uvea
Ila luka dapat menyeabka pengaturan banyaknya cahay yang masuk sehinggan muncul fotofobia atau penglihatan kabur
7) Lensa
Ila ada trauma akan mengganggu daya fokus sinar pada retina sehingga menurunkan daya refraksi dan sefris sebagai penglihatan menurun karena daya akomodasi tisak adekuat.
8) Retina
Dapat menyebabkan perdarahan retina yang dapat menumpuk pada rongga badan kaca, hal ini dapat muncul fotopsia dan ada benda melayang dalam badan kaca bisa juga teri oblaina retina.

H. PENGKAJIAN
Hal – hal yang perlu diperhatikan:
a. Bagaimana terjadinya trauma mata
Tanggal, waktu dan lokasi kejadian trauma perlu dicatat. Hal ini perlu untuk mengetahui apakah trauma ini terjadi pada waktu seseorang sedang melakukan pekerjaan sehari-hari. Perlu juga ditanyakan apakah alat-alat yang digunakan waktu terjadi trauma, apakah penderita waktu menggunakan kacamata pelindung atau tidak, kalau seandainya memakai kacamata, apakah kacamata itu turut pecah sewaktu terjadinya trauma.
b. Menentukan obyek penyebab trauma mata.
Menanyakan secara terperinci komposisi alat sewaktu terjadinya trauma. Apakah alat berupa paku, pecahan besi, kawat, pisau, jenis kayu, bambo dll. Perlu juga ditanyakan apakah alat tersebut berupa benda tajam atau tumpul, atau ada kemungkinan bercampurnya dengan debu dan kotoran lain.
c. Menentukan lokasi kerusakan intra okuler.
Untuk menentukan lokasi kerusakan pada mata, perlu diketahui jarak dan arah penyebabnya trauma mata, posisi kepala, dan arah penderita melihat pada waktu terjadi trauma.
d. Menetukan kesanggupan sebelum trauma.
Pada pengkajian ditanyakan apakah ada penyakit mata sebelumnya, atau operasi mata sebelum terjadi trauma pada kedua matanya. Perlu ditanyakan apakah perubahan visus terjadi secara tiba-tiba atau secara berangsur-angsur sebagai akibat ablasio retina, atau vitrium hemorrage.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ansietas b/d faktor fisiologis, perubahan status kesehatan: adanya nyeri;kemungkinan /kenyataan kehilangan penglihatan.
Kemungkinan dibuktikan oleh: ketakutan, ragu-ragu.menyatakan masalah perubahan hidup.
Hasil yang diharapkan
Tampak rileks dan melaporkan ansetas menurun sampai tingkat dapat diatasi.
Tindakan / Intervensi
• Kaji tingkat ansetas, derajat pengalaman nyeri / timbulnya gejala tiba-tiba dan pengetahuan kondisi saat ini.
• Berikan informasi yang akurat dan jujur.
• Diskusikan kemungkinan bahwa pengawasan dan pengobatan dapat mencegah kehilangan penglihatan tambahan. Dorong pasien untuk mengakui masalah dan mengekspresikan perasaan. Identifikasi sumber / orang yang menolong.

2. Gangguan Sensori Perseptual : Penglihatan b/d gangguan penerimaan sensori / status organ indera. Lingkungan secara terapetik dibatasi.
Kemungkinan dibuktikan oleh: menurunnya ketajaman, gangguan penglihatan. Perubahan respon biasanya terhadap rangsang.
Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi – pasien akan :
Meningkatkan ketajaman penglihatan dalam batas situasi individu.
Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan.
Mengidentifikasi / memperbaiki potensial bahaya dalam lingkungan.
Tindakan / Intevensi
Mandiri
• Tentukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau kedua mata terlibat.
• Orientasikan pasien terhadap lingkungan, staf, orang lain di areanya.
• Observasi tanda – tanda dan gejala-gejala disorientasi: pertahankan pagar tempat tidur sampai benar-benar sembuh dari anestasia.
• Pendekatan dari sisi yang tak dioperasi, bicara dan menyentuh sering, dorong orang tedekat tinggal dengan pasien.
• Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur dan iritasi mata dimanan dapat terjadi bila menggunakan tetes mata.

3. Resiko tinggi terhadap infeksi b/d Prosedur invasif
Kemungkinan dibuktikan oleh : [tidak diterapkan ; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual]
Hasil Yang Diharapkan/ Kriteria Evaluasi Pasien Akan :
Meningkatkan penyembuhan luka tepat waktu, bebas drainase purulen, eritema, dan demam.
Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko infeksi
Tindakan/intervensi:
• Kaji tanda-tanda infeksi
• Berikan therapi sesuai program dokter
• Anjurkan penderita istirahat untuk mengurangi gerakan mata
• Berikan makanan yang seimbang untuk mempercepat penyembuhan

Mandiri
• Diskusikan pentingnya mencuci tangan sebelum menyentuh/mengobati mata.
• Gunakan/tunjukkan teknik yang tepat untuk membersihkan mata dari dalam keluar dengan bola kapas untuk tiap usapan, ganti balutan.
• Tekankan pentingnya tidak menyentuh/menggaruk mata yang dioperasi.

DAFTAR PUSTAKA

Prof.Dr.Sidarta Ilyas . Penuntun ilmu penyakit mata. Jakarta; FK UI. 1993
Dr.Waliban. Dr Bondan Hariono. Oftalmologi Umum Jilid Satu Edisi 11; Jakarta 1992
Drs Med Parmono. Diagnosa Pengelolaan dan Prognosa Trauma Tembus pada Mata, Jakarta; EGC. 1987
Marilynn E. Doenges,Mary Frances Moorhous,Alice C . Geissler, Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3 ,Cetakan I: Jakarta. EGC 2000

Pathway :

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ULKUS KORNEA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
ULKUS KORNEA

A. Pengertian
Keratitis ulseratif yang lebih dikenal sebagai ulserasi kornea yaitu terdapatnya destruksi (kerusakan) pada bagian epitel kornea. (Darling,H Vera, 2000, hal 112)
IB. Etiologi
Faktor penyebabnya antara lain:
 Kelainan pada bulu mata (trikiasis) dan sistem air mata (insufisiensi air mata, sumbatan saluran lakrimal), dan sebagainya
 Faktor eksternal, yaitu : luka pada kornea (erosio kornea), karena trauma, penggunaan lensa kontak, luka bakar pada daerah muka
 Kelainan-kelainan kornea yang disebabkan oleh : oedema kornea kronik, exposure-keratitis (pada lagophtalmus, bius umum, koma) ; keratitis karena defisiensi vitamin A, keratitis neuroparalitik, keratitis superfisialis virus.
 Kelainan-kelainan sistemik; malnutrisi, alkoholisme, sindrom Stevens-Jhonson, sindrom defisiensi imun.
 Obat-obatan yang menurunkan mekaniseme imun, misalnya : kortikosteroid, IUD, anestetik lokal dan golongan imunosupresif.

Secara etiologik ulkus kornea dapat disebabkan oleh :
 Bakteri
Kuman yang murni dapat menyebabkan ulkus kornea adalah streptokok pneumoniae, sedangkan bakteri lain menimulkan ulkus kornea melalui faktor-faktor pencetus diatas.
 Virus : herpes simplek, zooster, vaksinia, variola
 Jamur : golongan kandida, fusarium, aspergilus, sefalosporium
 Reaksi hipersensifitas
 Reaksi terhadap stapilokokus (ulkus marginal), TBC (keratokonjungtivitis flikten), alergen tak diketahui (ulkus cincin)
(Sidarta Ilyas, 1998, 57-60)
C. Tanda dan Gejala
– Pada ulkus yang menghancurkan membran bowman dan stroma, akan menimbulkan sikatrik kornea.
– Gejala subyektif pada ulkus kornea sama seperti gejala-gejala keratitis. Gejala obyektif berupa injeksi silier, hilangnya sebagian jaringan kornea dan adanya infiltrat. Pada kasus yang lebih berat dapat terjadi iritis disertai hipopion.
– Fotofobia
– Rasa sakit dan lakrimasi
(Darling,H Vera, 2000, hal 112)

D . MACAM-MACAM ULKUS KORNEA SECARA DETAIL
Ulkus kornea dibagi dalam bentuk :
1. Ulkus kornea sentral meliputi:
a. Ulkus kornea oleh bakteri
Bakteri yang ditemukan pada hasil kultur ulkus dari kornea yang tidak ada faktor pencetusnya (kornea yang sebelumnya betul-betul sehat) adalah :
– Streptokokok pneumonia
– Streptokokok alfa hemolitik
– Pseudomonas aeroginosa
– Klebaiella Pneumonia
– Spesies Moraksella
Sedangkan dari ulkus kornea yang ada faktor pencetusnya adalah bakteri patogen opportunistik yang biasa ditemukan di kelopak mata, kulit, periokular, sakus konjungtiva, atau rongga hidung yang pada keadaan sistem barier kornea normal tidak menimbulkan infeksi. Bakteri pada kelompok ini adalah :
– Stafilokukkus epidermidis
– Streptokokok Beta Hemolitik
– Proteus

 Ulkus kornea oleh bakteri Streptokokok
Bakteri kelompok ini yang sering dijumpai pada kultur dari infeksi ulkus kornea adalah :
– streptokok pneumonia (pneumokok)
– streptokok viridans (streptokok alfa hemolitik0
– streptokok pyogenes (streptokok beta hemolitik)
– streptokok faecalis (streptokok non-hemolitik)
Walaupun streptokok pneumonia adalah penyebab yang biasa terdapat pada keratitis bakterial, akhir-akhir ini prevalensinya banyak digantikan oleh stafilokokus dan pseudomonas.
Ulkus oleh streptokok viridans lebih sering ditemukan mungkin disebabkan karena pneumokok adalah penghuni flora normal saluran pernafasan, sehingga terdapat semacam kekebalan. Streptokok pyogenes walaupun seringkali merupakan bakteri patogen untuk bagian tubuh yang lain, kuman ini jarang menyebabkan infeksi kornea. Ulkus oleh streptokok faecalis didapatkan pada kornea yang ada faktor pencetusnya.
Gambaran Klinis Ulkus kornea oleh bakteri Streptokokok
Ulkus berwarna kuning keabu-abuan, berbetuk cakram dengan tepi ulkus menggaung. Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karen aeksotoksin yang dihasilkan oleh streptokok pneumonia
Pengobatan : Sefazolin, Basitrasin dalam bentuk tetes, injeksi subkonjungtiva dan intra vena

 Ulkus kornea oleh bakteri Stafilokokkus
Infeksi oleh Stafilokokus paling sering ditemukan. Dari 3 spesies stafilokokus Aureus, Epidermidis dan Saprofitikus, infeksi oleh Stafilokokus Aureus adalah yang paling berat, dapat dalam bentuk : infeksi ulkus kornea sentral, infeksi ulkus marginal, infeksi ulkus alergi (toksik).
Infeksi ulkus kornea oleh Stafilokokus Epidermidis biasanya terjadi bila ada faktor penceus sebelumnya seperti keratopati bulosa, infeksi herpes simpleks dan lensa kontak yang telah lama digunakan.
Gambaran Klinis Ulkus kornea oleh bakteri Stafilokokkus
Pada awalnya berupa ulkus yang berwarna putih kekuningan disertai infiltrat berbatas tegas tepat dibawah defek epithel. Apabila tidak diobati secara adekuat, akan terjadi abses kornea yang disertai oedema stroma dan infiltrasi sel lekosit. Walaupun terdapat hipopion ulkus sering kali indolen yaitu reaksi radangnya minimal. Infeksi kornea marginal biasanya bebas kuman dan disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap Stafilokokus Aureus.

 Ulkus kornea oleh bakteri Pseudomonas
Berbeda dengan ulkus kornea sebelumnya, pada ulkus pseudomonas bakteri ini ditemukan dalam jumlah yang sedikit. Bakteri pseudomonas bersifat aerob obligat dan menghasilkan eksotoksin yang menghambat sintesis protein. Keadaan ini menerangkan mengapa pada ulkus pseudomonas jaringan kornea cepat hancur dan mengalami kerusakan. Bakteri pseudomonas dapat hidup dalam kosmetika, cairan fluoresein, cairan lensa kontak.
Gambaran Klinis Ulkus kornea oleh bakteri pseudomonas
Biasanya dimulai dengan ulkus kecil dibagian sentral kornea dengan infiltrat berwarna keabu-abuan disertai oedema epitel dan stroma. Ulkus kecil ini dengan cepat melebar dan mendalam serta menimbulkan perforasi kornea. Ulkus mengeluarkan discharge kental berwarna kuning kehijauan.
Pengobatan : gentamisin, tobramisin, karbesilin yang diberikan secara lokal, subkonjungtiva serta intra vena.

b. Ulkus kornea oleh virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simpleks cukup sering dijumpai. Bentuk khas dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila mengalami nekrosis di bagian sentral.

c.Ulkus kornea oleh jamur
Ulkus kornea oleh jamur banyak ditemukan, hal ini dimungkinkan oleh :
– Penggunaan antibiotika secara berlebihan dalam jangka waktu yang lama atau pemakaian kortikosteroid jangka panjang
– Fusarium dan sefalosporium menginfeksi kornea setelah suatu trauma yang disertai lecet epitel, misalnya kena ranting pohon atau binatang yang terbang mengindikasikan bahwa jamur terinokulasi di kornea oleh benda atau binatang yang melukai kornea dan bukan dari adanya defek epitel dan jamur yang berada di lingkungan hidup.
– Infeksi oleh jamur lebih sering didapatkan di daerah yang beriklim tropik, maka faktor ekologi ikut memberikan kontribusi.
Fusarium dan sefalosporium terdapat dimana-mana, ditanah, di udara dan sampah organik. Keduanya dapat menyebabkan penyakit pada tanaman dan pada manusia dapat diisolasi dari infeksi kulit, kuku, saluran kencing.
Aspergilus juga terdapat dimana-mana dan merupakan organisme oportunistik , selain keratitis aspergilus dapat menyebabkan endoftalmitis eksogen dan endogen, selulitis orbita, infeksi saluran lakrimal.
Kandida adalah jamur yang paling oportunistik karena tidak mempunyai hifa (filamen) menginfeksi mata yang mempunyai faktor pencetus seperti exposure keratitis, keratitis sika, pasca keratoplasti, keratitis herpes simpleks dengan pemakaian kortikosteroid.
Pengobatan : Pemberian obat anti jamur dengan spektrum luas, apabila memungkinkan dilakukan pemeriksaan laboratorium dan tes sensitifitas untuk dapat memilih obat anti jamur yang spesifik.

2. Ulkus marginal
Ulkus marginal adalah peradangan kornea bagian perifer dapat berbentuk bulat atau dapat juga rektangular (segiempat) dapat satu atau banyak dan terdapat daerah kornea yang sehat dengan limbus. Ulkus marginal dapat ditemukan pada orang tua dan sering dihubungkan dengan penyakit rematik atau debilitas. Dapat juga terjadi ebrsama-sama dengan radang konjungtiva yang disebabkan oleh Moraxella, basil Koch Weeks dan Proteus Vulgaris. Pada beberapa keadaan dapat dihubungkan dengan alergi terhadap makanan. Secara subyektif ; penglihatan pasien dengan ulkus marginal dapat menurun disertai rasa sakit, lakrimasi dan fotofobia. Secara obyektif : terdapat blefarospasme, injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang sejajar dengan limbus.
Pengobatan : Pemberian kortikosteroid topikal akan sembuh dalam 3 hingga 4 hari, tetapi dapat rekurens. Antibiotika diberikan untuk infeksi stafilokok atau kuman lainnya. Disensitisasi dengan toksoid stafilokkus dapat memberikan penyembuhan yang efektif.

a. Ulkus cincin
Merupakan ulkus kornea perifer yang dapat mengenai seluruh lingkaran kornea, bersifat destruktif dan biasaya mengenai satu mata.
Penyebabnya adalah reaksi alergi dan ditemukan bersama-sama penyakit disentri basile, influenza berat dan penyakit imunologik. Penyakit ini bersifat rekuren.
Pengobatan bila tidak erjad infeksi adalah steroid saja.
b. Ulkus kataral simplek
Letak ulkus peifer yang tidak dalam ini berwarna abu-au dengan subu terpanjag tukak sejajar dengan limbus. Diantara infiltrat tukak yang akut dengan limbus dtepiya terlihat bagian yang bening.
Terjadi ada pasien lanut usia.
Pengobatan dengan memberikan antibiotik, steroid dan vitamin.
c. Ulkus Mooren
Merupakan ulkus kronik yang biasanya mulai dari bagian perifer kornea berjalan progresif ke arah sentral tanpa adaya kecenderungan untuk perforasi. Gambaran khasnya yaitu terdapat tepi tukak bergaung dengan bagan sentral tanpa adanya kelainan dalam waktu yang agak lama. Tukak ini berhenti jika seluuh permukaan kornea terkenai.
Penyebabya adalah hipersensitif terhadap tuberkuloprotein, virus atau autoimun.
Keluhannya biasanya rasa sakit berat pada mata.
Pengobatan degan steroid, radioterapi. Flep konjungtiva, rejeksi konjungtiva, keratektomi dan keratoplasti.
(Sidarta Ilyas, 1998, 57-60)

E. Penatalaksanaan :
Pasien dengan ulkus kornea berat biasanya dirawat untuk pemberian berseri (kadang sampai tiap 30 menit sekali), tetes antimikroba dan pemeriksaan berkala oleh ahli opthalmologi. Cuci tangan secara seksama adalah wajib. Sarung tangan harus dikenakan pada setiap intervensi keperawatan yang melibatkan mata. Kelopak mata harus dijaga kebersihannya, dan perlu diberikan kompres dingin. Pasien dipantau adanya peningkatan tanda TIO. Mungkin diperlukan asetaminofen untuk mengontrol nyeri. Siklopegik dan midriatik mungkin perlu diresep untuk mengurangi nyeri dan inflamasi. Tameng mata (patch) dan lensa kontak lunak tipe balutan harus dilepas sampai infeksi telah terkontrol, karena justru dapat memperkuat pertumbuhan mikroba. Namun kemudian diperlukan untuk mempercepat penyembuhan defek epitel.
F. Pemeriksaan Diagnostik :
a. Kartu mata/ snellen telebinokuler (tes ketajaman penglihatan dan sentral penglihatan )
b. Lapang penglihatan
c. Pengukuran tonografi : mengkaji TIO, normal 12 – 25 mmHg
d. Pemeriksaan oftalmoskopi
e. Pemeriksaan Darah lengkap, LED
f. Pemeriksaan EKG
g. Tes toleransi glukosa

G. Pengkajian :
a. Aktifitas / istirahat : perubahan aktifitas
b. Neurosensori : penglihatan kabur, silau
c. Nyeri : ketidaknyamanan, nyeri tiba-tiba/berat menetap/tekanan pada & sekitar mata
d. Keamanan : takut, ansietas

(Dongoes, 2000)

Diagnosa Keperawatan :
a. Ketakutan atau ansietas berhubungan dengan kerusakan sensori dan kurangnya pemahaman mengenai perawatan pasca operatif, pemberian obat
Intervensi Keperawatan:
– Kaji derajat dan durasi gangguan visual
– Orientasikan pasien pada lingkungan yang baru
– Jelaskan rutinitas perioperatif
– Dorong untuk menjalankan kebiasaan hidup sehari-hari bila mampu
– Dorong partisipasi keluarga atau orang yang berarti dalam perawatan pasien.
b. Risiko terhadap cedera yang berhubungan dengan kerusakan penglihatan
Intervensi Keperawatan :
– Bantu pasien ketika mampu melakukan ambulasi pasca operasi sampai stabil
– Orientasikan pasien pada ruangan
– Bahas perlunya penggunaan perisai metal atau kaca mata bila diperlukan
– Jangan memberikan tekanan pada mata yang terkena trauma
– Gunakan prosedur yang memadai ketika memberikan obat mata
c. Nyeri yang berhubungan dengan trauma, peningkatan TIO, inflamasi intervensi bedah atau pemberian tetes mata dilator
Intervensi Keperawatan :
– Berikan obat untuk mengontrol nyeri dan TIO sesuai resep
– Berikan kompres dingin sesuai permintaan untuk trauma tumpul
– Kurangi tingkat pencahayaan
– Dorong penggunaan kaca mata hitam pada cahaya kuat
d. Potensial terhadap kurang perawatan diri yang berhubungan dengan kerusakan penglihatan
Intervensi Keperawatan :
– Beri instruksi pada pasien atau orang terdekat mengenai tanda dan gejala, komplikasi yang harus segera dilaporkan pada dokter
– Berikan instruksi lisan dan tertulis untuk pasien dan orang yang berarti mengenai teknik yang benar dalam memberikan obat
– Evaluasi perlunya bantuan setelah pemulangan
– Ajari pasien dan keluarga teknik panduan penglihatan

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN NEUROMA PADA FRONTO ORBITA SINISTRA

ASUHAN KEPERAWATAN BAYI AD DENGAN NEUROMA PADA FRONTO ORBITA SINISTRA

KONSEP DASAR
1. Pengertian
Tumor Orbita merupakan benjolan atau pembengkakan abnormal yang ditemukan didaerah orbita.

2. Epidemologi
Tumor secara umum dibedakan menjadi neoplasma dan non-neoplasma. Neoplasma dapat bersifat ganas atau jinak. Tumor ganas terjadi akibat berkembang biaknya sel jaringan sekitar infiltrat, sambil merusakkan. Neoplasma jinak tumbuh dengan batas tegas dan tidak menyusup, tidak merusak tetapi menekan jaringan disekitarnya dan biasanya tidak mengalami metastasis. Tumor orbita relatif jarang dijumpai. Pada proses pengambilan ruangan di orbitapenderita biasanya datang dengan keluhan seperti ada benjolan yang menyebabkan perubahan bentuk wajah, protopsis, nyeri peri okular, inflamasi, keluarnya air mata, massa tumor yang jelas nampak. Insiden tumor orbita bervariasi, tergantung pada metode pemeriksaan yang dipakai. Frekwensi relatif benigna dan maligna menurut handerson (1984); disebutkan sebagai berikut : karsinoma (primer metastasis dan pertumbuhan terus 21 %, kista 12 %, tumor vaskular 10 %, meningioma 9 %, malformasi vaskuler 5% dan tumor saraf tengkorak 4%, serta glioma optikus dan neurisistik 5%.

3. Patofisiologi

4. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pre Operasi Peri Operasi Pasca Operasi
S: Benjolan pada daerah sekitar mata/dahi, ada perasaan yang tidak nyaman akibat adanya benjolan, nyeri, takut. Riwayat trauma, riwayat tumor pada keluarga, riwayat penyakit yang pernah diderita, riwayat pembedahan, perasaan klien berhubungan dengan pembedahan. Haus. Riwayat alergi. lemas akibat puasa. Pada anak riwayat tumbuh kembang, imunisasi. Puasa, mandi. S : – S : Nyeri, susah bernafas, tubuh dingin
0 : Tampak benjolan pada daerah orbita, ukuran benjolan, jenis benjolan (keras, lunak, mobile/tidak ). Keadaan umum, kesadaran, keadaan kulit (pucat, cyanisis, icterus ), tekanan darah, Nadi dan suhu biasanya normal. Ukur BB dan TB. Status gizi. Kebersihan daerah operasi.
Data penunjang : Foto Thorax, CT scan, Lab DL. UL, FL, FH dan hasil tes antibiotika, informed concent.
0 : Terpasang alat perawatan,(infus, monitor, respirator ).Posisi tertelentang. Induksi dengan anastesi. Dilakukan eksisi. Suhu lingkungan 22 oC. Perdarahan. O : Lemah, terpasang infus, catatan tentang anestesi yang didapat, kesadaran menurun, luka bekas operasi, catatan perdarahan, peristaltik usus menurun, flatus (-).Hasil PA. Mual dan muntah, menangis pada anak-anak. Tubuh dingin, akral dingin, mukosa kering.

b. Diagnose dan Perencanaan
PRE OPERASI
DX TUJUAN TINDAKAN Rasional
Kecemasan pada anak atau orang tua b.d kurangnya pengetahuan tentang kemungkinan penyakit dan prosedur tindakan operasi Tujuan :
Setelah 15 menit klien/keluarga dapat mengetahui penyakit serta prosedur tindakan yang akan dilakukan pada klin/anaknya. 1. Jelaskan tentang penyakit yang diderita klie/anaknya serta prosedur tindakan operasi yang akan dilakukan.

2. Berikan kesempatan menemani klien/anaknya sampai di ruang premedikasi.

3. Yakinkan tentang jaminan mengenai tindakan yang akan dilakukan.

4. Berikan kesempatan kepada keluarga untuk bertanya.

5. Pastikan kelengkapan operasi klien (Status, hasil lab, Foto Radiologi, Ct Scan, Obat-obatan, alat-alat, informed concent
– Agar keluarga mengerti sehingga lebih paham tentang kondisi dan resiko tindakan operasi yang skan dilakukan
– Untuk meningkatkan orientasi dan meyakinkan bahwa operasi bukan sesuatu yang menakutkan.
– Agar kecemasan dapat tereduksi.

– Jawaban yang benar yang mampu menjawab keingintahuan klien merupakan sustu metode katarsis yang dapat mengurangi kecemasan klien
– Untuk menjamin keamanan fisik maupun psikologis petugas dan keluarga, yang memastikan segalaya telah siap.

Resiko defisit volume cairan b.d puasa sekunder persiapan operasi Setelah 30 menit tidak terjadi defisit cairan dengan kriteria :
– Turgor baik
– Cowong –
– Mukosa lembab. 1. Kolaborasi pemasangan infus

2. K/P pasang kateter

3. Observasi kelembaban mukosa – Untuk memenuhi kebutuhan cairan klien.

– Untuk mengetahui keseimbangan intake/output cairan
– Untuk mengetahui kecukupan cairan.

INTRA OPERASI
DX TUJUAN TINDAKAN Rasional
Resiko terjadi ketidakefektifan pola nafas b.d peningakatan sekret dan penurunan reflek menelan sekunder pemakaian Anestesi Selama operasi tidak terjadi gangguan bersihan jalan nafas. 1. Bantu memberikan posisi stabil
2. Bantu menyiapkan alat intubasi.

3. Bantu memonitor status respirasi

4. Lakukan monitoring SaO2

5. Pantu tanda distress pernafasn setelah penyapihan ETT/respirator.
– Untuk melancarkan airway
– Intubasi dapat mencegah resiko sumbatan jalan nafas
– Untuk mengetahui tanda gg pola nafas
– Memantau keadekuatan DO2 dan VO2 sebagai indikator perfusi dan pemenuhan O2.
– Untuk mengetahui efek anastesi pada SSP.
Resiko terjadi cedera (hipotermi, bradikardi, b.d suhu lingkungan yang rendah sekunder rendahnya kadar lemak subcutan pada bayi, serta penekanan pada nervus X pada segmen posterior orbital. Selama operasi :
– Tidak terjadi hipotermi
– Tidak terjadi okuloreflek 1. Pasang diatermi sebagai alas meja operasi.

2. Perhatikan pemasangan ground diatermi.
3. Berikan selimut operasi yang lebih tebal terutama untuk bayi dan lansia.
4. Pantau nadi dan EKG selama operasi

– Untuk mencegah hipotermi dg memberikan hangat secara elektrik
– Untuk mencegah kombus atau elektrik injury
– Untuk mencegah kehilangan panas melalui evavorasi

– Penekanan pada bola mata dapat menimbulkan timbulnya okulo reflek yang merangsang nervus X sehingga dapat terjadi bradikardi .

PASCA OPERASI
DX TUJUAN TINDAKAN Rasional
Kecemasan pada anak atau orang tua b.d kurangnya pengetahuan tentang hasil operasi. Tujuan :
Setelah 15 menit klien/keluarga dapat mengetahui hasil operasi. 1. Jelaskan tentang hasil operasi yang dilakukan, serta keadaan klien penyakit yang diderita klie/anaknya serta prosedur tindakan operasi yang akan dilakukan.

2. Berikan kesempatan menemani klien/anaknya di ruang RR.

3. Jelaskan tentang tindak lanjut hasil Px jaringan

4. Berikan kesempatan kepada keluarga untuk bertanya. – Agar keluarga mengerti sehingga lebih paham tentang kondisi dan resiko dari hasil operasi yang telah dilakukan

– Untuk meningkatkan orientasi dan meyakinkan bahwa operasi bukan sesuatu yang menakutkan.
– Agar kecemasan dapat tereduksi.

– Jawaban yang benar yang mampu menjawab keingintahuan klien merupakan sustu metode katarsis yang dapat mengurangi kecemasan klien
Resiko defisit volume cairan b.d puasa sekunder persiapan operasi Setelah 30 menit tidak terjadi defisit cairan dengan kriteria :
– Turgor baik
– Cowong –
– Mukosa lembab. 1. Observasi cairan infus

2. K/P pasang kateter

3.Observasi kelembaban mukosa
– Untuk memenuhi kebutuhan cairan klien.

– Untuk mengetahui keseimbangan intake/output cairan
– Untuk mengetahui kecukupan cairan.
Resiko terjadi hipotermi, b.d suhu lingkungan yang rendah sekunder rendahnya kadar lemak subcutan pada bayi Selama di RR
– Tidak terjadi hipotermi
1. Berikan selimut operasi yang lebih tebal terutama untuk bayi dan lansia.

– Untuk mencegah kehilangan panas melalui evavorasi

Resiko terjadi ketidakefektifan pola nafas b.d peningakatan sekret dan penurunan reflek menelan sekunder pemakaian Anestesi Selama operasi tidak terjadi gangguan bersihan jalan nafas. 1. Bantu memberikan posisi stabil

2.Bantu menyiapkan alat intubasi.

3.Bantu memonitor status respirasi

6. Lakukan monitoring SaO2

– Untuk melancarkan airway
– Intubasi dapat mencegah resiko sumbatan jalan nafas
– Untuk mengetahui tanda gg pola nafas
– Memantau keadekuatan DO2 dan VO2 sebagai indikator perfusi dan pemenuhan O2.

DAFTAR PUSTAKA

Tabrani, (1998), Agenda Gawat Darurat Jilid 3 Penerbit Alumni Bandung

Guyton, (1991), Fisiologi Manusia, EGC, Jakarta

Barbara Engram, (1995), Perawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta

Dongoes M.E, Marry F, Alice G (1997) Nursing Care Plans, F.A davis Company, Philadelphia.

Carpennito L.J (1997), Nursing Diagnosis, JB. Lippincot, New York

Naught Callender (1990), Illustrated Physiology, Churchill Livingstone, New York.

Syamsuhidayat, Wim de Young, (1998 ), Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HIFEMA

HIFEMA

A. Anatomi dan Fisiologi Pada Mata
Secara garis besar anatomi mata dapat dikelompokkan menjadi empat bagian, dan untuk ringkasnya fisiologi mata akan diuraikan secara terpadu. Keempat kelompok ini terdiri dari :
1) Palpebra
Dari luar ke dalam terdiri dari : kulit, jaringan ikat lunak, jaringan otot, tarsus, vasia dan konjungtiva.
Fungsi dari palpebra adalah untuk melindungi bola mata, bekerja sebagai jendela memberi jalan masuknya sinar kedalam bola mata, juga membasahi dan melicinkan permukaan bola mata.
2) Rongga mata
Merupakan suatu rongga yang dibatasi oleh dinding dan berbentuk sebagai piramida kwadrilateral dengan puncaknya kearah foramen optikum. Sebagian besar dari rongga ini diisi oleh lemak, yang merupakan bantalan dari bola mata dan alat tubuh yang berada di dalamnya seperti: urat saraf, otot-otot penggerak bola mata, kelenjar air mata, pembuluh darah
3) Bola mata
Menurut fungsinya maka bagian-bagiannya dapat dikelompokkan menjadi:
o Otot-otot penggerak bola mata
o Dinding bola mata yang teriri dari : sklera dan kornea. Kornea kecuali sebagai dinding juga berfungsi sebagai jendela untuk jalannya sinar.
o Isi bola mata, yang terdiri atas macam-macam bagian dengan fungsinya masing-masing
4) Sistem kelenjar bola mata
Terbagi menjadi dua bagian:
o Kelenjar air mata yang fungsinya sebagai penghasil air mata
o Saluran air mata yang menyalurkan air mata dari fornik konjungtiva ke dalam rongga hidung
B. Definisi
Hifema adalah adanya darah di dalam kamera anterior (Smeltzer,2001). Hifema atau adanya darah dalam bilik mata depan dapat terjadi karena trauma tumpul (Sidarta,1998). Bila pasien duduk, hifema akan terlihat mengumpul di bagian bawah bilik mata depan dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Darah dalam cairan aqueus humor dapat membentuk lapisan yang terlihat. Jenis trauma ini tidak perlu menyebabkan perforasi bola mata.

C. Etiologi
Hifema biasanya disebabkan trauma pada mata, yang menimbulkan perdarahan atau perforasi (Douglas, 2002). Inflamasi yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dan kanker mungkin juga bisa menyebabkan perdarahan pada bilik depan mata. Trauma tumpul dapat merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan merusak sudut kamar okuli anterior. Tetapi dapat juga terjadi secara spontan atau pada patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat bergerak dalam kamera anterior, mengotori permukaan dalam kornea.
D. Tanda dan Gejala
1. Pandangan mata kabur
2. Penglihatan sangat menurun
3. Kadang – kadang terlihat iridoplegia & iridodialisis
4. Pasien mengeluh sakit atau nyeri
5. Nyeri disertai dengan efipora & blefarospasme
6. Pembengkakan dan perubahan warna pada palpebra
7. Retina menjadi edema & terjadi perubahan pigmen
8. Otot sfingter pupil mengalami kelumpuhan
9. Pupil tetap dilatasi (midriasis)
10. Tidak bereaksi terhadap cahaya beberapa minggu setelah trauma.
11. Pewarnaan darah (blood staining) pada kornea
12. Kenaikan TIO (glukoma sekunder )
13. Sukar melihat dekat
14. Silau akibat gangguan masuknya sinar pada pupil
15. Anisokor pupil
16. Penglihatan ganda (iridodialisis)

E. Patofisiologi / Pathways
Terlampir

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Kartu mata snellen (tes ketajaman penglihatan) : mungkin terganggu akibat kerusakan kornea, aqueus humor, iris dan retina.
2. Lapang penglihatan : penurunan mungkin disebabkan oleh patologi vaskuler okuler,glukoma.
3. Pengukuran tonografi : mengkaji tekanan intra okuler ( TIO ) normal 12-25 mmHg.
4. Tes provokatif : digunakan untuk menentukan adanya glukoma bila TIO normal atau meningkat ringan.
5. Pemeriksaan oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, edema retine, bentuk pupil dan kornea.
6. Darah lengkap, laju sedimentasi LED : menunjukkan anemia sistemik/infeksi.
7. Tes toleransi glokosa : menentukan adanya /kontrol diabetes.
G. Penatalaksanaan Medis
1. Pasien tetap istirahat ditempat tidur (4-7 hari) sampai hifema diserap.
2. Diberi tetes mata antibiotika pada mata yang sakit dan diberi bebat tekan.
3. Pasien tidur dengan posisi kepala miring 60º diberi koagulasi.
4. Kenaikan TIO diobati dengan penghambat anhidrase karbonat. (asetasolamida).
5. Di beri tetes mata steroid dan siklopegik selama 5 hari.
6. Pada anak-anak yang gelisah diberi obat penenang
7. Parasentesis tindakan atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan bila ada tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema akan berkurang.
8. Asam aminokaproat oral untuk bekuan darah.
9. Evakuasi bedah jika TIO lebih 35 mmHg selama 7 hari atau lebih 50 mmH selama 5 hari.
10. Vitrektomi dilakukan bila terdapat bekuan sentral dan lavase kamar anterior.
11. Viskoelastik dilakukan dengan membuat insisi pada bagian limbus.

H. Pengkajian
1. Data subyektif
a. Pandangan kabur atau ganda
b. Penglihatan silau
c. Penglihatan berkurang atau tidak ada
d. Kesukaran melihat dekat
e. Kelelahan dan ketegangan mata
f. Nyeri
g. Peningkatan air mata (epifora)
2. Data obyektif
a. Tanda-tanda vital
b. Drainase
c. Haemoragi
d. Anisokor pupil
e. Pupil tidak bereaksi terhadap sinar
f. Perubahan kelopak mata, edema, kekakuan, kemerahan
g. Ketajaman penglihatan
h. Pembengkakan kelopak mata
i. Edema kornea kontusio orbita kelopak mata

3. Kondisi / penyakit yang menyertai
a. Diabetes melitus
b. Masalah-masalah sinus
c. Hipertensi
d. Glaukoma
e. Penyakit, trauma atau tumor yang berhubungan dengan serebral
f. Robekan retina
g. Penyakit autoimun

4. Pembedahan atau penyakit sebelumnya
a. Pembedahan atau penanganan mata
b. Trauma kepala atau muka
c. Koma hipertensi
d. Degenerasi retina
e. Ketergantungan zat

5. Riwayat keluarga
a. Glaukoma
b. Diabetes melitus
c. Katarak
d. Pigmentosa retinitis

6. Riwayat sosial
a. Bahaya pekerjaan atau rekreasi
b. Kewaspadaan keamanan yang digunakan
c. Ketergantungan obat atau alkohol
d. Kerja fisik yang berat

I. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan terpajannya reseptor nyeri sekunder terhadap trauma tumpul
Tujuan : Rasa nyeri berkurang
Kriteria hasil :
a. Pasien mendemonstrasikan pengetahuan pengontrolan nyeri
b. Pasien mengalami dan mendemonstrasikan periode tidur yang tidak terganggu
c. Pasien mengatakan nyeri berkurang dengan skala nyeri ringan (1-3)
Intervensi :
b. Kaji tipe, intensitas dan lokasi nyeri
c. Gunakan tingkatan skala nyeri untuk menentukan dosis analgetik
d. Pertahankan tirah baring dengan posisi tegak atau posisi kepala 60º
e. Lakukan bebat mata pada bagian yang sakit
f. Berikan kompres dingin untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan
g. Berikan sedasi untuk meminimalkan aktivitas
h. Berikan analgetik dan kortikosteroid
i. Berikan gosok punggung, perubahan posisi untuk
meningkatkan kenyamanan
j. Bantu ajarkan teknik relaksasi

2. Resiko terjadi komplikasi dan perdarahan ulang berhubungan dengan patologi vaskuler okuler
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan ulang
Kriteria hasil :
a. Perdarahan utama segera berhenti dan dapat diserap kembali
b. Jumlah darah dalam kamera okuli anterior tidak bertambah
c. Tidak terjadi obstruksi pada jaringan trabekular
Intervensi :
a. Kaji jumlah perdarahan pada okuli anterior
b. Mata diperiksa untuk melihat adanya perdarahan sekunder
dan kenaikan TIO
c. Pertahankan tirah baring dan pemberian sedasi untuk minimal aktivitas
d. Posisikan pasien tetap dalam posisi tegak diam
e. Berikan balut tekan pada mata yang sakit dan lakukan penggantian balutan
f. Beri koagulansia dan antibiotika
g. Evakuasi perdarahan dengan parasentesis
h. Berikan anhidrase karbonat (asetasolamide) untuk atasi kenaikan TIO

3. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan penglihatan
Tujuan : Pasien mampu beradaptasi dengan perubahan
Kriteria hasil :
a. Pasien menerima dan mengatasi sesuai dengan keterbatasan penglihatan
b. Menggunakan penglihatan yang ada atau indra lainnya secara adekuat
Intervensi :
a. Perkenalkan pasien dengan lingkungan sekitarnya
b. Beritahu pasien untuk mengoptimalkan alat indera yang lain
c. Bantu pasien untuk beradaptasi menggunakan indera lainnya yang tidak mengalami trauma
d. Kunjungi dengan sering untuk menentukan kebutuhan dan menghilangkan ansietas
e. Anjurkan untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran
f. Libatkan orang terdekat dalam perawatan dan aktivitas
g. Kurangi bising dan berikan istirahat yang seimbang

4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan dan penurunan ketajaman penglihatan
Tujuan : Ansietas dapat teratasi
Kriteria hasil :
a. Pasien mendemonstrasikan penilaian penanganan adaptif untuk mengurangi ansietas
b. Pasien mendemonstrasikan pemahaman proses penyakit
Intervensi :
a. Kaji tingkat ansietas pasien
b. Diskusikan metode penanganan ansietas
c. Dorong mengungkapkan ansietas
d. Pertahankan limgkungan yang tenang
e. Berikan dukungan emosional
f. Tempatkan seluruh barang-barang yang dibutuhkan dalam jarak yang dapat dijangkau
g. Pastikan bahwa bantuan terhadap aktivitas sehari-hari akan ada
h. Bantu atau ajarkan teknik relaksasi, nafas dalam, meditasi

5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai perawatan diri dan proses penyakit
Tujuan : Pasien memiliki pengetahuan yang cukup mengenai penyakitnya
Kriteria hasil :
a. Pasien memahami instruksi pengobatan
b. Pasien memverbalisasikan gejala-gejala untuk dilaporkan
Intervensi :
a. Beritahu pasien tentang penyakit yang diderita
b. Ajarkan perawatan diri selama sakit
c. Ajarkan prosedur penetesan obat tetes mata dan penggantian balutan
d. pada pasien dan keluarga
e. Diskusikan gejala-gejala terjadinya perdarahan ulang dan kenaikan TIO

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan, Dale. Oftalmologi Umum. Alih bahasa Jan Tambajong dan Brahm U. Ed. 14. Jakarta : Widya Medika ; 2000.
2. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 1998.
3. Tucker, Susan Martin et al. Standar Perawatan Pasien : proses keperawatan, diagnosis dan evaluasi. Alih bahasa Yasmin Asih dkk. Ed. 5. Jakarta : Egc ; 1998
4. Darling, Vera H & Thorpe Margaret R. Perawatan Mata. Yogyakarta : Penerbit Andi; 1995.
5. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.
6. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
7. Douglas, Raymond S. Hifema. Departement of Ophthalmology, UCLA Menical Center, Los Angeles, CA. 2002